
, JAKARTA – Anggota Komisi III DPR Bambang Soesatyo alias Bamsout menyatakan bahwa money politics tetap menjadi permasalahan utama dalam pemilihan umum.
Indonesia
.
Itu dikemukakan Bamsoet ketika menyampaikan Kuliah Pasca Sarjana Prodi Kajian Perdamaian dan Penyelesaian Konflik, Fakultas Keamanan Nasional Universitas Pertahanan melalui platform daring di Jakarta, pada hari Kamis (12/6).
Bamsoet mengungkapkan bahwa pemilihan umum yang ditujukan untuk memberikan perubahan signifikan kepada warga negara Indonesia serta sebagai bukti dari penerapan demokrasi kini mulai diragukan keberartianannya.
Sebab itu, banyak orang mulai bertanya-tanya apakah pemilihan umum saja sudah cukup efisien dalam menimbulkan perubahan pada struktur politik saat ini, atau malah diperlukan suatu revolusi politik agar dapat mewujudkan transformasi yang lebih radikal di Indonesia.
\”Pemilihan umum kerap menjadi tempat di mana terjadi tindakan korupsi, dimana para peserta calon anggota dewan ataupun presiden menghabiskan uang untuk mendapatkan dukungan pemilih. Ini mencemarkan martabat pemungutan suara serta menjadikan dinamika politik tampak timpang, terlebih bagi individu-individu yang tak punya sumber daya finansial maupun pengaruh,\” jelas Bamsoet melalui pernyataannya pada hari Jumat (13/06).
Pemimpin ke-15 dari Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia tersebut menyatakan bahwa di satu sisi, partisipasi politik yang inklusif dan adil adalah fondasi penting bagi demokrasi yang kuat serta dapat terus bertahan.
Pada masa ketika politik bisa saja dipengaruhi oleh praktik uang dalam pesta demokrasi, melibatkan kelompok-kelompok yang sering kali terpinggirkan—seperti wanita, generasi muda, orang dengan disabilitas, dan komunitas kurang mampu—sangat penting untuk memastikan bahwa partisipasi politik berlangsung seoptimal mungkin.
Tanpa kedatangan mereka, peraturan yang dibuat bisa jadi timpang dan tak menggambarkan dengan baik keperluan penduduk yang bervariasi.
Bamsoet berpendapat bahwa masa depan demokrasi di Indonesia sangat bergantung pada kapabilitas negeri ini dalam merenggangkan area politik selebar-lebarnya bagi setiap warganegaranya.
Pemuda, wanita, serta golongan yang rawan tidak hanya menjadi obyek dalam demokrasi pemilihan umum, melainkan pihak yang memiliki hak untuk mengarahkan masa depan negara.
\”Melalui penguatan partisipasinya, Indonesia tidak saja menciptakan demokrasi yang lebih terbuka bagi semua kalangan, namun juga menjadi lebih kuat dalam menanggulangi berbagai permasalahan abad ini,\” jelas Bamsoet.
Dosen tetap di Pascasarjana Unhan tersebut menyebutkan bahwa hambatan terbesar untuk mencapai partisipasi yang inklusif adalah akibat dari dominasi politik transaksional atau
money politics
.
Phenomenon ini sudah sangat melekat dalam struktur politik di Indonesia.
Berdasarkan data dari Indikator Politik Indonesia untuk Pemilu 2024, diketahui bahwa 35% peserta survei menyatakan keputusan memilih mereka dipengaruhi oleh janji dana insentif.
Nomor itu mengindikasikan dampak besar dari politik uang terhadap pilihan pemungutan suara.
Lebih mengkhawatirkan lagi, menurut Bamsoet, sebagian besar masyarakat justru menyatakan pengertian adanya praktik tersebut sebagai bagian dari \’budaya politik\’.
Pada model semacam itu, kelompok yang memiliki batasan pada aset keuangan mereka—biasanya termasuk wanita, remaja, individu kurangi kemampuan fisik, dan komunitas tidak mampu—akan senantiasa menemukan diri mereka dalam situasi inferior.
Bukan dikarenakan ketidakmampuan, melainkan sistem yang mematok harga mahal agar bisa \’memasuki\’ lingkaran kekuasan.
\”Pertanyaan ini perlu ditelaah dengan cepat. Di satu pihak, negeri kita menginginkan pembangunan demokrasi yang melibatakan semua pihak serta bersifat inklusif, tetapi di sisi lain masih mempertahankan atau justru tidak menyadari keberadaan sistem politik yang membuat kesulitan bagi golongan terpinggirkan dalam ikut berpartisipasi secara adil,\” papar Bamsoet.
Bamsoet menyebutkan bahwa penyelesaian masalah tersebut tidak dapat bergantung sepenuhnya pada aturan saja, melainkan memerlukan lingkungan politik yang baik, janji para elit, dan juga meningkatkan kemampuan masyarakat sipil.
Dia menyatakan bahwa fungsi legislatif dan eksekutif sangat krusial dalam menangani masalah tersebut.
Kedua organisasi ini bertugas bukan saja menyusun peraturan, melainkan juga mendorong keterlibatan publik yang adil dan signifikan.
Pemerintah serta lembaga perundangan harus dapat menciptakan sistem partisipasi yang memberikan kesempatan kepada suara-suar yang sebelumnya terabaikan.
Sebagai contoh, dengan mengadakan forum aspirasi yang secara teratur mencakup partisipasi dari komunitas penyandang disabilitas, organisasi remaja, kelompok wanita desa, atau masyarakat adat.
Semacam forum ini tak hanya bersifat symbolik, melainkan perlu dimasukkan sebagai bagian dari proses pembentukan hukum dan pemantauan kebijakan masyarakat umum.
Tahap selanjutnya adalah mendukung pendidikan politik yang sesuai dengan konteks dan dapat menyesuaian diri.
Banyak pemuda dan grup berisiko yang masih belum mengerti seluk-beluk politik dengan baik akibat keterbatasan pengetahuan mereka tentang hal ini.
Bamsoet menyebutkan bahwa disini adalah saatnya pendidikan politik berperan.
Bukan dengan menggunakan pidato resmi yang monoton, namun lewat pendekatan kreatif semacam workshop, diskusi kelompok, kampanye daring, atau simulasi parlemen yang menarik perhatian kaum muda.
\”Negara dan partai politik harus semakin serius dalam mengembangkan pemimpin baru dari kalangan terpinggirkan. Hal ini dapat dicapai melalui penyelenggaraan pelatihan kepemimpinan politik yang bersifat inklusif, menyediakan jalan untuk berkarier di bidang politik tanpa biaya tinggi, serta membangun program bimbingan yang mendukung generasi muda dan wanita agar dapat belajar secara langsung dari anggota legislatif yang sudah berpengalaman,\” ungkap Bamsoet.
Dia menggarisbawahi bahwa inklusi dalam ranah politik tak sekadar berkaitan dengan representasi yang adil, melainkan juga berhubungan dengan mutu dari keputusan-keputusan bersifat umum tersebut.
Semakin banyak pemangku kepentingan yang ikut serta dalam jalannya politik, semakin tinggi peluang agar aturan-aturan yang dibuat bisa menyesuaikan dengan permintaan publik secara menyeluruh.
Misalnya, keterlibatan perempuan dalam legislatif terbukti berkontribusi terhadap lahirnya kebijakan-kebijakan yang sensitif gender.
Sebagai contoh, Undang-Undang tentang TindakPidana Kekerasan Seksual (UU TPSK), yang diundangkan pada tahun 2022, merupakan hasil dari pertarungan lama yang mayoritas dipimpin oleh wakil wanita dalam legislatif serta organisasi masyarakat sipil.
Di samping itu, dengan adanya pemuda di parlemen, mereka memperkenalkan aspek-aspek segar pada berbagai masalah kebijakan, termasuk digitalisasi layanan masyarakat, pembangunan lingkungan yang lestari, serta keterbukaan dalam pengelolaan dana.
Walaupun masih belum banyak, para anggota legislatif muda ini berhasil membuktikan bahwa adanya wakil dari kalangan pemuda bisa memicu transformasi dalam gaya komunikasi politik menjadi lebih transparan dan kontemporer.
\”Akan tetapi, seluruh upaya tersebut bakal sia-sia bila sistem politik masih menghinggalkan perilaku transaksional yang penuh dengan kecurangan,\” tegasnya.
Maka dari itu, perbaikan yang menyeluruh seperti mereformasi dana parti politik, menerapkan keterbukaan dalam anggaran kampanye, dan menjamin pelaksanaan hukum atas tindakan suap dalam politik harus jadi fokus utama.
\”Bahkan dengan adanya keragaman dalam daftar caleg, hal tersebut tetap saja hanyalah basa-basi jika akses terhadap kekuasaan masih diatur melalui uang dan jaringan pertemanan. Bukan berdasarkan kemampuan atau representasi,\” tegas Bamsoet.
(mrk/jpnn)