SEPUTAR CIBUBUR– Serangan militer Israel di Jalur Gaza kembali menelan korban besar.
Sedikitnya 53 warga Palestina tewas pada Minggu (14/9), termasuk 35 orang di Gaza City, di tengah upaya Israel merebut wilayah utara dan memaksa eksodus massal penduduk.
Serangan udara juga menghancurkan 16 bangunan, termasuk tiga menara hunian di kawasanRemal.
Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan dua kematian tambahan akibat kelaparan, menjadikan total korban jiwa karena kelaparan sejak awal perang mencapai 422 orang.
UNICEF dan UNRWA menyatakan bahwa kondisi di zona “aman” al-Mawasi semakin memburuk, dengan kamp pengungsi penuh sesak dan minim akses air bersih, makanan, serta layanan kesehatan.
“Tidak ada tempat yang aman di Gaza. Tidak ada yang aman,” tulis PhilippeLazzarini, Kepala UNRWA, dalam unggahan di X.
Sementara itu, serangan Israel ke Doha, Qatar, pada 9 September 2025, yang menewaskan lima anggota Hamas dan satu petugas keamanan Qatar, memicu kecaman internasional.
Serangan tersebut terjadi saat delegasi Hamas tengah membahas proposal gencatan senjata yang diajukan Amerika Serikat.
Qatari PM Sheikh Mohammed bin Abdulrahman menyebut serangan itu sebagai tindakan “barbarik” dan pelanggaran serius terhadap kedaulatan negaranya.
Arab League dan sejumlah negara Timur Tengah, termasuk Arab Saudi dan UEA, menyatakan dukungan terhadap Qatar dan mengecam Israel atas dugaan “genosida, pembersihan etnis, dan kolonisasi”.
Di sisi lain, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menegaskan bahwa hubungan dengan Amerika Serikat tetap kuat, meski Presiden Donald Trump menyatakanketidaksenangannyaatas serangan di Doha.
Menteri Energi Israel Eli Cohen bahkan menyatakan akan terus memburu pemimpin Hamas di luar negeri, termasuk diTurkiye.
Menurut laporan Haaretz, Israel kini merawat sekitar 20.000 tentara yang terluka, lebih dari separuhnya mengalami trauma psikologis, dan jumlah itu diperkirakan meningkat hingga 50.000 pada 2028.
Pengamat hubungan internasional dari Qatar University, AdnanHayajneh, menyebut serangan ke Qatar sebagai “destabilisasi regional” yang bisa memicu kemarahan dua miliar Muslim di seluruh dunia.