Oleh: Iman Ahmadi SPd *)
Pada saat ini, langit di bagian timur tengah sedang dipenuhi suara gemuruh rudal-rudal balistik yang menghiasi horizon malam, membuat seluruh dunia menjadi resah dan tidak tenang.
Perang terus-menerus yang sudah berlangsung puluhan tahun dalam bentuk konfrontasi tak terlihat, serangan cyber, dan tindakan pengintaian, akhirnya pecah dengan jelas di antara kedua negara besar regional yakni Iran dan Israel.
Perang ini tidak terbatas pada duel antar dua negara saja, tetapi juga menuntun partisipasi dari pemain-pemain internasional besar, mencetus ketidakstabilan di wilayah tersebut, serta mempertontonkan penerapan teknologi senjata canggih yang dapat merombak dinamika perang kontemporer.
Dalam situasi perselisihan tersebut, Indonesia kini menghadapi tantangan etika dalam menentukan kebijakan luar negerinya.
Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim paling besar di planet ini, sudah secara konsisten menunjukkan empati kepada Palestina serta penentangan terhadap sergensi Israel dalam kebijakannya internasional.
Saat konflik terbuka timbul di antara Iran dan Israel, situasi bagi Indonesia jadi semakin rumit.
Sebuah sisi, Indonesia berusaha untuk mempertahankan imejnya sebagai negara yang gigih dalam merawat kedamaian global. Sementara itu, keadaan internal dan ketidaktentuan dalam urusan diplomasi asing malahan mengakibatkannya sulit diperdengarkan suaranya di pentas panggung dunia internasional.
Faktanya, masyarakat internasional kini semakin pesimis terhadap peran Indonesia yang diharapkan dalam masalah keamanan dunia.
Bukan dikarenakan Indonesia kurang memiliki sejarah dalam bidang diplomatik, akan tetapi konsistensi di antara prinsip serta tindakannya saat ini sudah mulai diragukan.
Kita sering merasa bahwa diplomasi yang dilakukan menjadi sangat standar, monoton, dan kurang berdampak. Pengumuman resmi hanya sekedar mendorong seluruh pihak agar bersabar, tetapi jarang disertai dengan tindakan konkret untuk mendukung diskusi seperti menciptkan rasa percaya antara kedua belah pihak atau memberikan beberapa alternatif penyelesaian masalah.
Bahkan, Indonesia seolah hilang arah dalam menghadapi dinamika global yang membutuhkan keterbukaan serta jelasnya pandangan di tengah situasi internasional yang kian panas.
Pada sisi lainnya, kondisi dalam negeri pun belum cukup kuat untuk menopang peran strategis itu.
Masalah seperti suap menyuap, perbedaan sosial ekonomi, sistem pemerintahan yang kurang efisien, serta para pemimpin politik yang cenderung fokus pada strategi ambil alih kekuasaan bukan misi jangka panjang, telah menyebabkan kedudukan Indonesia terlihat makin tidak stabil.
Bagaimana kita bisa membicarakan perdamaian dunia apabila kondisi negara kita sendiri dipenuhi oleh ketidakstabilan dan keributan? Di manakah kesempatan untuk mendukung hukum internasional saat penegakan hukum di tanah air masih terjadi secara sewenang-wenang?
Perselisihan antara Iran dan Israel harus bisa menjadi pelajaran bagi kita semua. Ketika negara-negara lain terlibat dalam operasi militer udara, memasang misil berjeda panjang serta menyalakan sistem perlindungan multi-lapis seperti Iron Dome atau Arrow 3, maka sebagai warga Indonesia perlu mencerminkan kesiapsiagaan infrastruktur pertahanan nasional untuk mengantisipasi skenario semacam itu bila sewaktu-waktu muncul di tanah air kita.
Apakah sistem radar kita sudah dibangun terintegrasi? Apakah jalur logistik udara kita aman dari ancaman sabotase atau serangan siber? Apakah Wilayah Udara sudah sepenuhnya berada dalam kewenangan penuh pengendalian sistem hanud kita sendiri?
Peristiwa konflik tersebut harus membuat kita mengerti bahwa di era globalisasi saat ini, peperangan yang terjadi ratusan atau bahkan ribuan kilometer dari lokasi kita pun dapat memiliki dampak langsung kepada kehidupan sehari-hari. Dampak-dampak itu bisa mencakup peningkatan biaya bahan pokok dan gas, ketidakstabilan sistem transportasi udara sipil hingga menekan hubungan diplomatis antarnegara.
Oleh karena itu sangatlah vital bagi Indonesia agar tak sekadar jadi penonton, melainkan juga seorang pelajarnya.
Kami perlu mulai mengenali diri sendiri, mengetahui batas-batas kami, serta berupaya memperbaiki kekurangan mendasar dalam pengelolaan pertahanan, diplomatik, dan ketahanan pangan bangsa dengan cara yang mendalam.
Sebenarnya, sebuah bangsa yang mulia tidak ditentukan oleh seberapa hebat persenjataannya, tetapi oleh kemauan mereka untuk belajar dari setiap perbedaan pendapat, serta berani mengintrospeksi diri, melakukan pembetulan, dan merencanakan masa depan bagi generasi mendatang agar menjadi lebih bijaksana.
Jangan sampai kita baru sadar pentingnya kedaulatan negara ketika sudah terlambat.
Jangan sampai kita baru merindukan sistem pertahanan yang kokoh ketika negara tetangga sudah membangun jaringan radar hingga ke langit kita sendiri.
Indonesia harus mengumpulkan kembali usaha, mensinkronkan ideologi diplomasi nonblok yang dinamis dengan tindakan konkret yang progresif. Dengan begitu, global tak bakal bertahan untuk melihat kami berkembang. Global justru akan senantiasa maju, dan negara-negara yang kurang cepat pastinya akan ditinggalkan.
*) Penulis merupakan alumni dari Ikatan Mahasiswa Gayo (Imaga) di Medan, Sumatera Utara dan juga seorang pengamat sosial adat budaya di Aceh Tengah.
KUPI SENYE merupakan bagian opini pembaca. Setiap tulisan bertanggung jawab atas isi yang dikemukakan oleh penulisnya.